SATU
Aku benci saat makan siang karena aku akan sangat merindukan Carl pada
saat itu.
Saat kami duduk di bangku sekolah menengah kami
menghabiskan seluruh waktu kami bersama. Kami tergesa-gesa keluar saat bel
berbunyi ,menghabiskan makan siang dalam waktu sepuluh menit, dan lalu kami
memiliki banyak waktu berdua. Kami biasanya mengendap-endap ke salah satu
tempat favorit kami. Saat hari cerah, kami tidur-tiduran di taman bermain atau
duduk-duduk di dekat parkiran sepeda sedangkan saat musim salju kami lebih
sering bersembunyi di perpustakaan. Bagiku tidak masalah di manapun kami berada
asal kami bersama.
Ada hari di mana kami tidak banyak mengobrol. Kami hanya
membaca buku, bercanda, atau mengomentari banyak hal. Kadang-kadang kami
menggambar bersama atau bermain permainan kertas yang konyol. Tapi seringnya
kami mengarang cerita baru untuk Glassworld (Dunia Kaca). Kami berakting seakan
berada di Glassworld walaupun kami tidak bisa melakukannya dengan bebas di
sekolah layaknya kami biasa bermain di Pondok Kaca. Anak lain menganggap kami
aneh. Saat melewati kami biasanya mereka akan mengolok-olok dan membicarakan
cinta sejati Raja Carlo dan Ratu Sylviana lalu mereka akan tertawa
terbahak-bahak. Kami hanya cemberut sambil mengomel sendiri sambil membuat beberapa
isyarat selama semenit lalu keajaiban akan muncul dan kami akan berputar dalam
kelap-kelip cahaya menuju Glassworld.
Aku selalu shock saat mendengar suara bel yang menandakan
mulainya kelas sore,. Suara itu bagai seakan menghancurkan mahkota kristal dan
sepatu kaca milik kami. Dengan malas-malasan kami melewati koridor yang berbau
pizza dan kembali mengenakan sneaker butut sambil berharap dapat tinggal di
Glassworld selamanya.
Aku selalu menulis Sejarah Glassworld di buku naskah kami
yang besar. Carl kadang-kadang menambahkan beberapa catatan dan ilustrasi dalam
naskah itu. Tapi belakangan ini kami sudah tidak pernah melakukan segala
sesuatu yang berhubungan dengan Glassworld. Carl selalu memiliki PR yang
membosankan. Kadang-kadang ia tidak datang ke Pondok Kaca selama beberapa hari
dan aku harus menghubunginya.
Sayangnya hal itu tidak selalu bekerja. Ia mengikutiku ke
halaman dan duduk di dalam pondok bersamaku, tapi ia tidak melakukan apapun
serta terus murung. Atau ia akan bersikap konyol dan menghancurkan segalanya
serta berbicara dengan suara bodoh. Pada akhirnya aku akan menyuruhnya bermain
dengan benar seperti biasa, tapi biasanya untuk membuat ia bersikap normal
membutuhkan usaha yang keras.
“Mungkin kamu harus berhenti mengajak Carl untuk bermain
bersamamu,” kata Mom.
“Tapi dia teman terbaikku di seluruh dunia. Kami selalu
bermain bersama,” kataku.
“Oh, Sylvie,” kata Mom. Ia mengela napas. Belakangan ini
ia sering menghela napas saat berbicara denganku. “Kamu sudah terlalu besar
untuk bermain berpura-pura seperti itu sekarang. Itu tidak normal. Kamu sudah
empat belas tahun, demi Tuhan. Kapan kmu akan bersikap layaknya remaja?”
“Ibu nggak tau apa-apa tentang ini,” kataku dengan …
“Permainan itu bukan permainan anak kecil. Kami menulis buku berseri kami
sendiri. Tunggu saja. Buku-buku itu akan diterbitkan suatu hari nanti, dan Carl
dan aku akan menjadi jutawan. Kami akan mendapat uang royalty dan dari penerbit
luar negeri serta kontrak film.”
“Oh ya, jadi kamu bisa membayar hipotek kalau begitu,”
kata Mom lalu ia menghela nafas lagi. “Memangnya kamu pikir kamu itu siapa?
J.K. Rowling? Lagipula, Carl kelihatannya tidak terlalu bersungguh-sungguh
dalam permainan—maaf, maksud Ibu menulis,
belakangan ini. Kalian berdua sudah bertambah dewasa. Mungkin sudah saatnya
kamu berkenalan dengan teman-teman baru. Apa kamu tidak memiliki teman di
sekolah?”
“Aku punya banyak teman,” kataku berbohong. “Aku punya
Lucy. Dia temanku.”
Aku tidak terlalu berbohong. Aku dan Lucy berteman saat
hari pertama yang mengkhawatirkan di SMA Milstead. Aku mengenal dia saat duduk
di bangku sekolah dasar dan menengah. Namun aku tidak merasa perlu berteman
dengan gadis-gadis di sekolahku karena aku selalu memiliki Carl.
Sekarang, saat aku duduk di kelas Sembilan rasanya sulit
untuk mendapat teman baru. Sebagian besar teman-temanku berasal dari sekolah
menengah yang sama denganku dulu, dan mereka sudah memiliki sahabat atau gang.
Ada beberapa anak yang bukan berasal dari sekolahku, namun mereka selalu
berkumpul bersama. Salah satu dari murid yang bukan berasal dari sekolahku
adalah Miranda Holbein, namun ia ada di luar jangkauanku.
Untung saja Lucy memintaku duduk di sebelahnya dan ia
juga bersikap ramah. Ia adalah gadis yang suka tertawa dengan pipi merah jambu
seakan ia selalu malu-malu. Ia bergabung di paduan suara dan ia sangat baik. Dia
memiliki poni dan selalu mengenakan seragam berwarna putih bersih dan rok
sepanjang lutut. Sepatu coklatnya yang berenda juga selalu mengilap. Dia
kelihatan sama kekanakannya seperti aku. Jadi kami selalu duduk bersama di
setiap kelas dan berbagi coklat dan keripik saat istirahat. Kami mengobrol
tentang hal-hal yang membosankan seperti acara TV (ia menyukai segala sesuatu
tentang rumah sakit dan ingin menjadi suster saat dewasa nanti) dan penyanyi
terkenal (ia menyukai sejumlah boy band
dengan gaya seperti anak kecil, bahkan ia hapal di luar kepala mengenai tanda
lahir mereka dan makanan kesukaannya juga hapal urutan lagu di album mereka).
Lucy lumayan juga untuk menjadi teman sehari-hari. Tapi
tentu saja aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai teman baik. Rumahnya hanya satu belokan dari
sekolah jadi ia pulang saat makan siang. Rumahku sangat jauh sekali. Lagipula,
Mom sangat sibuk bekerja di dinas social jadi tidak sempat membuatkan telur dan
kentang untukku, seperti ibu Lucy. Aku terjebak di sekolah setiap makan siang.
Kami tidak diizinkan menggunakan telepon genggam di sekolah namun aku mengirim
pesan kepada Carl melalui telepati : Aku
merindukanmu. Berbicaralah padaku. Sampai bertemu di GH malam ini ya?
Kami
biasanya berpura-pura selalu terhubung satu sama lain dengan telepati. Mungkin
gelombang otak kami tidak bisa terhubung dengan teknologi terbaru. Tidak ada
suara ching-ching di kepala Carl.
Kalau saja ia pernah mengirimkan telepati yang sama untukku, namun aku tidak
pernah menerimanya walaupun aku selalu siap dan sangat ingin menerima
telepatinya.
Aku
sering bertanya pada Carl apa yang ia lakukan saat makan siang di Sekolah
Grammar Kingsmere tapi ia biasanya tidak komunikatif. Ia hanya makan dan
membaca.
“Oh,
ayolah, Carl. Ceritakan semua padaku,” kataku. “Secara teliti. Aku ingin cerita mendetail.”
“OK.
Kamu ingin aku menerangkan secara rinci tentang kunjunganku ke kamar mandi
laki-laki?”
“Berhentilah
bersikap menyebalkan. Kamu tau apa maksudku. Dengan siapa kamu mengobrol? Apa
yang kamu lakukan? Apa yang kamu pikirkan?”
“Mungkin
kamu akan suka membuntutiku dengan webcam,”
jawab Carl. Ia tiba-tiba menyeringai dan berbicara seperti presenter TV. “Ini dia korban mata-mata kita, Carl Johnson.
Ayo kita ke rumahnya. Ah! Apa yang ia lakukan sekarang? Ia mengangkat jarinya.
Apakah ia menyadari kehadiran kita? Apakah ia akan memrotes acara ini? Tidak,
ia memegang hidungnya. Ayo kita amati lebih dekat kotoran hidungnya.”
“Yek!”
“Oh, teman dekat Carl, Sylvie, memberikan
komentar yang tajam. Ayo focus ke Sylvie kecil. Senyum ke kamera, Sayang,” katanya
sambil mengarahkan jarinya yang dibentuk persegi ke depan wajahku.
Aku
menjulurkan lidahku kepadanya.
“Tetap seperti itu, tetap seperti itu, gadis
manis! Kita sekarang berpindah ke acara favorit sepanjang masa Live Op Channel.
Nona Sylvie West menderita Sindrom Lidah Tajam sejak ia kecil. Namun ahli
telinga, hidung, dan tenggorokan, Dokter Carl Johnson, akan mengoperasinya.
Tolong guntingnya, Suster!”
“Ya, ini dia guntinya,” kataku sambil
membuka tutup jariku. “Tapi kita beralih
ke acara Mystery Channel sekarang dan aku berperan sebagai gadis menakutkan
yang gila karena teman baiknya yang gila jadi gadis itu memutuskan untuk—menusuk—ia—sampai—mati!”
Aku
mengarahkan jari-jari guntingku menusuk dada Carl lalu ia memekik dan berjalan
terhuyung-huyung kemudian terjatuh ke kakiku, menirukan orang yang mati
berlumuran darah. Ia berakting dengan sangat baik sampai-sampai aku hampir melihat lautan darah berwarna merah
segar.
Aku
membungkuk di atasnya sementara dia diam tak bergerak, matanya setengah membuka
tapi tatapannya kosong dan ia bahkan tidak mengedipkan mata.
“Carl?
Carl!” kataku sambil menggoyangkan bahunya.
Ia
tidak bergerak dan jantungku berdetak lebih kencang. Aku merangkak mendekatinya
lalu merendahkan kepalaku sampai rambutku yang panjang menggelitik pipinya. Ia
masih tidak bergerak. Aku diam dan mendengarkan suara napasnya. Ia sepertinya
tidak bernapas.
“Berhenti,
Carl, kau membuatku takut!” kataku.
Dia
tiba-tiba duduk tegak sehingga kepala kami berbenturan dan aku berteriak.
“Ah, aku senang berhasil menakutimu karena
kita sekarang beralih ke Horror Channel dan aku adalah hantu yang kembali untuk mengejarmu. Jadi kau wajar
ketakutan, Sylvie West, karena aku akan menangkapmu!”
Tangannya
mencekik leherku lalu aku bergulat dengannya. Aku berbadan kecil dan kurus
namun aku bisa melawan seperti kucing liar bila aku mau. Kami bergulat lalu
Carl menggelitik leherku. Aku tertawa terbahak-bahak lalu mengelitiknya balik.
Kami berbaring sambil tertawa pelan selama beberapa saat. Lalu Carl meraih
tanganku dan memegangnya dengan cara special yang sudah sering kami lakukan
sejak umur tujuh tahun. Aku menggenggam tangannya erat dan tau kalau kami akan
tetap menjadi sahabat selamanya. Lebih daripada sahabat biasa. Kami
berpura-pura melakukan pernikahan saat kami masih kecil. Carl membuatkan cincin
untukku dari bungkus permen. Mungkin ia akan memberikan cincin asli suatu hari
nanti.
Bagaimana
bisa aku membandingkan obrolan singkat dan ringan bersama Lucy dengan
kegembiraan tak ternilai bersama Carl?
Tidak
ada gadis lain yang bisa diajak berkeliling saat makan siang. Aku makan bersama
siapapun yang ada di dekatku, tapi aku tidak ingin terlalu terlibat dengan
mereka. Suatu ketika saat aku sedang duduk di perpustakaan Miranda Holbein
datang dan melambaikan tangan kepadaku. Aku sangat bingung dan memandang ke
sekelilingku. Aku yakin ia melambai ke anak lain.
“Aku
melambai kepadamu, bodoh!” kata Miranda.
Aku
melambaikan tanganku kepadanya dengan bodoh lalu mengumpulkan buku-bukuku dan
berlari keluar. Aku tidak ingin mengganggu Miranda. Kami baru masuk sekolah
beberapa minggu namun ia sudah memiliki reputasi yang serius. Ia bisa
mencincangmu bila ia tidak menyukai penampilanmu.
Aku tidak menyukai penampilanku. Badanku
sangat kecil sehingga orang-orang tidak percaya aku sudah kelas Sembilan. Aku
kelihatan paling muda dibandingkan semua gadis di kelasku. Mereka semua
memanggilku Little Titch. Aku tidak benar-benar merasa diejek. Mereka
menganggapku sebagai mascot kelas—sangat imut, namun aku tidak menganggapnya
serius.
Semua
orang terpesona kepada Miranda. Ia kelihatan lebih tua daripada aku dan semua
anak lain. Dia kelihatan paling tidak berusia enam belas tahun, walaupun dengan
seragam hijau-botolnya. Rambutnya berwarna merah terang kebiruan hasil cat
rambut, walaupun mengecat rambut adalah pelanggaran di sekolah. Ia berbohong
kepada Nona Michaels, bersumpah kalau setiap helai rambutnya asli. Rambutnya
berjatuhan ke dagunya yang lancip, namun ia biasanya mengepang dan mengikatnya
dengan manic-manik kecil dan pita.
Saat
gurunya menasihatinya karena dandanannya yang terlalu mencolok, ia mengenakan
manic dan pita hijau keesokan harinya dan Nona Michaels membiarkannya!
Miranda
sepertinya dilahirkan untuk menentang semua peraturan. Ia adalah gadis yang
membuat semua orang ingin meniru gayanya. Namun sebenarnya ia tidak terlalu cantik dan juga bukan termasuk anak yang
super kurus. Ia juga tidak Nampak bersalah walau ia bersikap keterlaluan.
Faktanya ia tampak puas dengan dirinya sendiri, sering berdiri sambil berkacak
pinggang dan membuat dirinya tampak menonjol. Gadis-gadis di kelasnya berkata
kalau ia tidak pernah mengenakan handuk setelah mandi. Jadi ia berdiri dengan
kondisi benar-benar telanjang dan tidak peduli siapa yang memerhatikannya.
Dia
adalah murid yang pintar dan bisa mendapat peringkat pertama kalau ia mau
belajar dengan serius, namun ia biasanya mengacaukan segalanya dan lupa
mengerjakan PR. Ia mengetahui banyak hal dan sering mengobrol dengan guru
mengenai seni, opera, atau arsitektur namun tidak ada yang mengatainya culun.
Selain itu tidak ada yang mengatainya sok imut walaupun ia berbicara dengan
suara rendah dibuat-buat yang biasanya akan menjadi bahan olokan. Ia kadang juga
menyumpah dan tidak selalu tidak diketahui oleh guru-guru. Ia juga sering
bercerita mengenai hal-hal yang ia lakukan bersama pacarnya. Ia selalu
dikelilingi oleh gadis-gadis yang sering memekik, “Oh, Miranda!”
Aku
pergi ke kamar mandi wanita saat makan siang dan melihat sekumpulan gadis
mengerubungi Miranda sambil tertawa. Ia berdiri di atas wastafel sambil
mengayunkan kakinya yang mengenakan boot dengan ujung panjang.
Ia
sedang menerangkan apa yang ia lakukan dengan pacarnya tadi malam. Aku
berhenti, pipiku memerah melihatnya. Gadis-gadis lain terkikik dan menyenggol
Miranda yang tidak juga berhenti.
“Diam,
Miranda. Lihat, itu Titch.”
“Hai,
Titch,” sapa Miranda sambil melambai lagi. Jari-jarinya bekas digigiti namun ia
memoles semua kukunya dengan warna hitam dan menggambar bunga mawar hitam di
pergelangan tangannya. Lalu ia melanjutkan ceritanya dengan mendetail.
“Miranda,
hentikan! Wajah Titch berwarna merah padam.”
Miranda
tersenyum. “Mungkin sudah waktunya ia memelajari fakta kehidupan,” katanya.
“OK, Titch. Bolehkan aku menerangkan padamu?”
“Aku
sudah tau fakta kehidupan, terima
kasih,” tolakku.
Aku
sudah bersiap akan ke kamar mandi namun aku mengurungkan niatku karena aku
tidak ingin masuk ke kabin dengan mereka semua di luar dan mendengarkanku.
“Ah,
kamu pasti sudah memiliki gambaran mengenai fakta-fakta
dasar, tapi aku ragu kamu sudah mempraktekkannya,” kata Miranda.
“Berhenti
menggoda Titch, Miranda!”
“Kayak Titch sudah pernah punya pacar
saja,” kata Miranda sambil memutar matanya kepada mereka.
“Aku
memang punya pacar,” kataku dengan tegas. “Kamu tidak seharusnya mengambil
keputusan sendiri. Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku.”
Gadis-gadis
yang menyaksikanku dan Miranda mulai tertarik. Orang-orang tidak biasanya
menyerang Miranda balik. Aku sangat heran karena aku berani melakukannya.
Miranda
sama sekali tidak terlihat terganggu. “Aku ingin
tau semua tentangmu,” katanya. “Dan
pacarmu. Ceritakan tentang dia.”
“Namanya
Carl,” kataku,
“Dan?”
Tanya Miranda. “Ayolah, Titch. Seperti apa wajahnya?”
“Ia
sangat tampan. Semua orang berkata begitu, bukan aku saja. Ia baik. Rambutnya
sangat indah, pirang, dan lurus. Rambutnya menjuntai ke dahinya saat sudah
memanjang. Matanya berwarna coklat dan kulitnya indah, sangat bersih tanpa
luka. Dia tidak terlalu tinggi namun ia lebih tinggi daripadaku, tentu saja.
Dia tidak terlalu memedulikan penampilan namun ia selalu kelihatan tampan,
keren dan santai.”
“Wow!”
kata Miranda. Ia kelihatan senang mengerjaiku namun ia juga kelihatan tertarik.
“Jadi bagaimana sifatnya? Orang dengan penampilan seperti itu biasanya
menyebalkan.”
“Tidak,
Carl tidak menyebalkan sedikitpun. Dia sangat lucu dan pandai membuat dan
menemukan benda baru. Dia sangat rajin dan jauh lebih pintar daripada aku. Ia
mengetahui semua hal. Ia akan mendalami suatu hal yang ia suka terus menerus
tanpa rasa bosan.”
“Jadi
sudah berapa lama kau mengenal laki-laki ini?” Tanya Miranda. “Atau apakah kamu
benar-benar mengenalnya? Kamu kan
suka membaca. Mungkin kamu mengarang kisah hidupmu sendiri sekarang.”
“Yah,
kayak cowok seperti itu mau jalan bareng Titch saja,” kata Alison yang adalah
anak baru juga.
“Ia
benar-benar mengenalnya,” kata Patty
Price. “Kami semua sekelas di sekolah menengah.”
“Jadi
ia seumuran kita,” kata Miranda. “Hanya anak kecil. Aku tidak pernah berpacaran dengan laki-laki seusiaku. Mereka sangat
bodoh dan tidak dewasa.”
“Carl
tidak bodoh,” kataku.
“Tidak,
ia itu hmm … sangat pintar,” kata Patty. “Ia bersekolah di Kingsmere Grammar
sekarang, ya kan, Ticth? Ia mendapatkan beasiswa special. Ia juga pintar dalam
seni. Ia menggambar satu sisi tembok di sekolahku dulu—gambar kota Venice, dan
karyanya seperti seniman sungguhan.”
“Ia
kedengarannya menarik,” kata Miranda. “Aku ingin bertemu dengannya. Hei, Titch,
ajak dia ke tempatku nanti malam.”
Aku
menatap Miranda. Ia pasti bercanda! Gadis-gadis lain Nampak takjub saat
mendengar ajakan Miranda.
“Ya,
benar,” kataku.
“Tidak,
sungguh. Kita akan berpesta. Pasti menyenangkan,” kata Miranda.
“Oh,
bolehkah aku ikut, Miranda?”
“Boleh?”
“Aku
juga mau ikut!”
“Hei,
hei, aku mengajak Titch, bukan kalian semua. Sylvie dan pacarnya, Carl.”
Miranda menyenggolku dengan ujung sepatu bootnya. “Maukah kau datang, Sylvie?”
Tidak
ada yang memanggilku Sylvie di sekolah kecuali teman-temanku. Aku sangat
terkejut sampai tidak tahu mau menjawab apa.
Aku
harusnya menolak, tentu saja. Ide mengajak Carl pergi ke pesta Miranda bersama
aku adalah ide yang sangat buruk. Tapi kamu tidak bisa menolak ajakan gadis
seperti Miranda.
“Yah,
sepertinya menyenangkan,” gumamku lalu bersiap menyampaikan beberapa alasan.
“Bagus,”
kata Miranda lalu lompat turun dari wastafel. “Sampai bertemu jam delapan.
Rumahku di Lark Drive nomor 94.”
Dia
berlalu sambil mengibaskan roknya yang pendek sebelum aku bisa mengatakan hal
lain. Anak lain lari menyusulnya sambil memohon untuk ikut serta.
Aku
hanya diam dan jantungku berdebar keras, memikirkan apa yang akan aku lakukan
sekarang.