Selasa, 24 Juli 2012

[Translate] Kiss - Jacqueline Wilson part 1

Mulai hari ini saya akan memposting hasil terjemahan saya dari novel Kiss - Jacqueline Wilson. Kenapa saya memilih novel ini? KarenaJacqueline Wilson adalah pengarang favorit saya sejak kecil dan tujuan saya hanya ingin menyalurkan hobi membaca dan menerjemah. Enjoy it :)


SATU


Aku benci saat makan siang karena aku akan sangat merindukan Carl pada saat itu.
            Saat kami duduk di bangku sekolah menengah kami menghabiskan seluruh waktu kami bersama. Kami tergesa-gesa keluar saat bel berbunyi ,menghabiskan makan siang dalam waktu sepuluh menit, dan lalu kami memiliki banyak waktu berdua. Kami biasanya mengendap-endap ke salah satu tempat favorit kami. Saat hari cerah, kami tidur-tiduran di taman bermain atau duduk-duduk di dekat parkiran sepeda sedangkan saat musim salju kami lebih sering bersembunyi di perpustakaan. Bagiku tidak masalah di manapun kami berada asal kami bersama.
            Ada hari di mana kami tidak banyak mengobrol. Kami hanya membaca buku, bercanda, atau mengomentari banyak hal. Kadang-kadang kami menggambar bersama atau bermain permainan kertas yang konyol. Tapi seringnya kami mengarang cerita baru untuk Glassworld (Dunia Kaca). Kami berakting seakan berada di Glassworld walaupun kami tidak bisa melakukannya dengan bebas di sekolah layaknya kami biasa bermain di Pondok Kaca. Anak lain menganggap kami aneh. Saat melewati kami biasanya mereka akan mengolok-olok dan membicarakan cinta sejati Raja Carlo dan Ratu Sylviana lalu mereka akan tertawa terbahak-bahak. Kami hanya cemberut sambil mengomel sendiri sambil membuat beberapa isyarat selama semenit lalu keajaiban akan muncul dan kami akan berputar dalam kelap-kelip cahaya menuju Glassworld.
            Aku selalu shock saat mendengar suara bel yang menandakan mulainya kelas sore,. Suara itu bagai seakan menghancurkan mahkota kristal dan sepatu kaca milik kami. Dengan malas-malasan kami melewati koridor yang berbau pizza dan kembali mengenakan sneaker butut sambil berharap dapat tinggal di Glassworld selamanya.
            Aku selalu menulis Sejarah Glassworld di buku naskah kami yang besar. Carl kadang-kadang menambahkan beberapa catatan dan ilustrasi dalam naskah itu. Tapi belakangan ini kami sudah tidak pernah melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Glassworld. Carl selalu memiliki PR yang membosankan. Kadang-kadang ia tidak datang ke Pondok Kaca selama beberapa hari dan aku harus menghubunginya.
            Sayangnya hal itu tidak selalu bekerja. Ia mengikutiku ke halaman dan duduk di dalam pondok bersamaku, tapi ia tidak melakukan apapun serta terus murung. Atau ia akan bersikap konyol dan menghancurkan segalanya serta berbicara dengan suara bodoh. Pada akhirnya aku akan menyuruhnya bermain dengan benar seperti biasa, tapi biasanya untuk membuat ia bersikap normal membutuhkan usaha yang keras.
            “Mungkin kamu harus berhenti mengajak Carl untuk bermain bersamamu,” kata Mom.
            “Tapi dia teman terbaikku di seluruh dunia. Kami selalu bermain bersama,” kataku.
            “Oh, Sylvie,” kata Mom. Ia mengela napas. Belakangan ini ia sering menghela napas saat berbicara denganku. “Kamu sudah terlalu besar untuk bermain berpura-pura seperti itu sekarang. Itu tidak normal. Kamu sudah empat belas tahun, demi Tuhan. Kapan kmu akan bersikap layaknya remaja?”
            “Ibu nggak tau apa-apa tentang ini,” kataku dengan … “Permainan itu bukan permainan anak kecil. Kami menulis buku berseri kami sendiri. Tunggu saja. Buku-buku itu akan diterbitkan suatu hari nanti, dan Carl dan aku akan menjadi jutawan. Kami akan mendapat uang royalty dan dari penerbit luar negeri serta kontrak film.”
            “Oh ya, jadi kamu bisa membayar hipotek kalau begitu,” kata Mom lalu ia menghela nafas lagi. “Memangnya kamu pikir kamu itu siapa? J.K. Rowling? Lagipula, Carl kelihatannya tidak terlalu bersungguh-sungguh dalam permainan—maaf, maksud Ibu menulis, belakangan ini. Kalian berdua sudah bertambah dewasa. Mungkin sudah saatnya kamu berkenalan dengan teman-teman baru. Apa kamu tidak memiliki teman di sekolah?”
            “Aku punya banyak teman,” kataku berbohong. “Aku punya Lucy. Dia temanku.”
            Aku tidak terlalu berbohong. Aku dan Lucy berteman saat hari pertama yang mengkhawatirkan di SMA Milstead. Aku mengenal dia saat duduk di bangku sekolah dasar dan menengah. Namun aku tidak merasa perlu berteman dengan gadis-gadis di sekolahku karena aku selalu memiliki Carl.
            Sekarang, saat aku duduk di kelas Sembilan rasanya sulit untuk mendapat teman baru. Sebagian besar teman-temanku berasal dari sekolah menengah yang sama denganku dulu, dan mereka sudah memiliki sahabat atau gang. Ada beberapa anak yang bukan berasal dari sekolahku, namun mereka selalu berkumpul bersama. Salah satu dari murid yang bukan berasal dari sekolahku adalah Miranda Holbein, namun ia ada di luar jangkauanku.
            Untung saja Lucy memintaku duduk di sebelahnya dan ia juga bersikap ramah. Ia adalah gadis yang suka tertawa dengan pipi merah jambu seakan ia selalu malu-malu. Ia bergabung di paduan suara dan ia sangat baik. Dia memiliki poni dan selalu mengenakan seragam berwarna putih bersih dan rok sepanjang lutut. Sepatu coklatnya yang berenda juga selalu mengilap. Dia kelihatan sama kekanakannya seperti aku. Jadi kami selalu duduk bersama di setiap kelas dan berbagi coklat dan keripik saat istirahat. Kami mengobrol tentang hal-hal yang membosankan seperti acara TV (ia menyukai segala sesuatu tentang rumah sakit dan ingin menjadi suster saat dewasa nanti) dan penyanyi terkenal (ia menyukai sejumlah boy band dengan gaya seperti anak kecil, bahkan ia hapal di luar kepala mengenai tanda lahir mereka dan makanan kesukaannya juga hapal urutan lagu di album mereka).
            Lucy lumayan juga untuk menjadi teman sehari-hari. Tapi tentu saja aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai teman baik. Rumahnya hanya satu belokan dari sekolah jadi ia pulang saat makan siang. Rumahku sangat jauh sekali. Lagipula, Mom sangat sibuk bekerja di dinas social jadi tidak sempat membuatkan telur dan kentang untukku, seperti ibu Lucy. Aku terjebak di sekolah setiap makan siang. Kami tidak diizinkan menggunakan telepon genggam di sekolah namun aku mengirim pesan kepada Carl melalui telepati : Aku merindukanmu. Berbicaralah padaku. Sampai bertemu di GH malam ini ya?
                Kami biasanya berpura-pura selalu terhubung satu sama lain dengan telepati. Mungkin gelombang otak kami tidak bisa terhubung dengan teknologi terbaru. Tidak ada suara ching-ching di kepala Carl. Kalau saja ia pernah mengirimkan telepati yang sama untukku, namun aku tidak pernah menerimanya walaupun aku selalu siap dan sangat ingin menerima telepatinya.
                Aku sering bertanya pada Carl apa yang ia lakukan saat makan siang di Sekolah Grammar Kingsmere tapi ia biasanya tidak komunikatif. Ia hanya makan dan membaca.
                “Oh, ayolah, Carl. Ceritakan semua padaku,” kataku. “Secara teliti. Aku ingin cerita mendetail.”
                “OK. Kamu ingin aku menerangkan secara rinci tentang kunjunganku ke kamar mandi laki-laki?”
                “Berhentilah bersikap menyebalkan. Kamu tau apa maksudku. Dengan siapa kamu mengobrol? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu pikirkan?”
                “Mungkin kamu akan suka membuntutiku dengan webcam,” jawab Carl. Ia tiba-tiba menyeringai dan berbicara seperti presenter TV. “Ini dia korban mata-mata kita, Carl Johnson. Ayo kita ke rumahnya. Ah! Apa yang ia lakukan sekarang? Ia mengangkat jarinya. Apakah ia menyadari kehadiran kita? Apakah ia akan memrotes acara ini? Tidak, ia memegang hidungnya. Ayo kita amati lebih dekat kotoran hidungnya.
                “Yek!”
                “Oh, teman dekat Carl, Sylvie, memberikan komentar yang tajam. Ayo focus ke Sylvie kecil. Senyum ke kamera, Sayang,” katanya sambil mengarahkan jarinya yang dibentuk persegi ke depan wajahku.
                Aku menjulurkan lidahku kepadanya.
                “Tetap seperti itu, tetap seperti itu, gadis manis! Kita sekarang berpindah ke acara favorit sepanjang masa Live Op Channel. Nona Sylvie West menderita Sindrom Lidah Tajam sejak ia kecil. Namun ahli telinga, hidung, dan tenggorokan, Dokter Carl Johnson, akan mengoperasinya. Tolong guntingnya, Suster!
                “Ya, ini dia guntinya,” kataku sambil membuka tutup jariku. “Tapi kita beralih ke acara Mystery Channel sekarang dan aku berperan sebagai gadis menakutkan yang gila karena teman baiknya yang gila jadi gadis itu memutuskan untuk—menusuk—ia—sampai—mati!
                Aku mengarahkan jari-jari guntingku menusuk dada Carl lalu ia memekik dan berjalan terhuyung-huyung kemudian terjatuh ke kakiku, menirukan orang yang mati berlumuran darah. Ia berakting dengan sangat baik sampai-sampai aku hampir melihat lautan darah berwarna merah segar.
                Aku membungkuk di atasnya sementara dia diam tak bergerak, matanya setengah membuka tapi tatapannya kosong dan ia bahkan tidak mengedipkan mata.
                “Carl? Carl!” kataku sambil menggoyangkan bahunya.
                Ia tidak bergerak dan jantungku berdetak lebih kencang. Aku merangkak mendekatinya lalu merendahkan kepalaku sampai rambutku yang panjang menggelitik pipinya. Ia masih tidak bergerak. Aku diam dan mendengarkan suara napasnya. Ia sepertinya tidak bernapas.
                “Berhenti, Carl, kau membuatku takut!” kataku.
                Dia tiba-tiba duduk tegak sehingga kepala kami berbenturan dan aku berteriak.
                “Ah, aku senang berhasil menakutimu karena kita sekarang beralih ke Horror Channel dan aku adalah hantu  yang kembali untuk mengejarmu. Jadi kau wajar ketakutan, Sylvie West, karena aku akan menangkapmu!
                Tangannya mencekik leherku lalu aku bergulat dengannya. Aku berbadan kecil dan kurus namun aku bisa melawan seperti kucing liar bila aku mau. Kami bergulat lalu Carl menggelitik leherku. Aku tertawa terbahak-bahak lalu mengelitiknya balik. Kami berbaring sambil tertawa pelan selama beberapa saat. Lalu Carl meraih tanganku dan memegangnya dengan cara special yang sudah sering kami lakukan sejak umur tujuh tahun. Aku menggenggam tangannya erat dan tau kalau kami akan tetap menjadi sahabat selamanya. Lebih daripada sahabat biasa. Kami berpura-pura melakukan pernikahan saat kami masih kecil. Carl membuatkan cincin untukku dari bungkus permen. Mungkin ia akan memberikan cincin asli suatu hari nanti.
                Bagaimana bisa aku membandingkan obrolan singkat dan ringan bersama Lucy dengan kegembiraan tak ternilai bersama Carl?
                Tidak ada gadis lain yang bisa diajak berkeliling saat makan siang. Aku makan bersama siapapun yang ada di dekatku, tapi aku tidak ingin terlalu terlibat dengan mereka. Suatu ketika saat aku sedang duduk di perpustakaan Miranda Holbein datang dan melambaikan tangan kepadaku. Aku sangat bingung dan memandang ke sekelilingku. Aku yakin ia melambai ke anak lain.
                “Aku melambai kepadamu, bodoh!” kata Miranda.
                Aku melambaikan tanganku kepadanya dengan bodoh lalu mengumpulkan buku-bukuku dan berlari keluar. Aku tidak ingin mengganggu Miranda. Kami baru masuk sekolah beberapa minggu namun ia sudah memiliki reputasi yang serius. Ia bisa mencincangmu bila ia tidak menyukai penampilanmu.
                Aku tidak menyukai penampilanku. Badanku sangat kecil sehingga orang-orang tidak percaya aku sudah kelas Sembilan. Aku kelihatan paling muda dibandingkan semua gadis di kelasku. Mereka semua memanggilku Little Titch. Aku tidak benar-benar merasa diejek. Mereka menganggapku sebagai mascot kelas—sangat imut, namun aku tidak menganggapnya serius.
                Semua orang terpesona kepada Miranda. Ia kelihatan lebih tua daripada aku dan semua anak lain. Dia kelihatan paling tidak berusia enam belas tahun, walaupun dengan seragam hijau-botolnya. Rambutnya berwarna merah terang kebiruan hasil cat rambut, walaupun mengecat rambut adalah pelanggaran di sekolah. Ia berbohong kepada Nona Michaels, bersumpah kalau setiap helai rambutnya asli. Rambutnya berjatuhan ke dagunya yang lancip, namun ia biasanya mengepang dan mengikatnya dengan manic-manik kecil dan pita.
                Saat gurunya menasihatinya karena dandanannya yang terlalu mencolok, ia mengenakan manic dan pita hijau keesokan harinya dan Nona Michaels membiarkannya!
                Miranda sepertinya dilahirkan untuk menentang semua peraturan. Ia adalah gadis yang membuat semua orang ingin meniru gayanya. Namun sebenarnya ia tidak terlalu cantik dan juga bukan termasuk anak yang super kurus. Ia juga tidak Nampak bersalah walau ia bersikap keterlaluan. Faktanya ia tampak puas dengan dirinya sendiri, sering berdiri sambil berkacak pinggang dan membuat dirinya tampak menonjol. Gadis-gadis di kelasnya berkata kalau ia tidak pernah mengenakan handuk setelah mandi. Jadi ia berdiri dengan kondisi benar-benar telanjang dan tidak peduli siapa yang memerhatikannya.
                Dia adalah murid yang pintar dan bisa mendapat peringkat pertama kalau ia mau belajar dengan serius, namun ia biasanya mengacaukan segalanya dan lupa mengerjakan PR. Ia mengetahui banyak hal dan sering mengobrol dengan guru mengenai seni, opera, atau arsitektur namun tidak ada yang mengatainya culun. Selain itu tidak ada yang mengatainya sok imut walaupun ia berbicara dengan suara rendah dibuat-buat yang biasanya akan menjadi bahan olokan. Ia kadang juga menyumpah dan tidak selalu tidak diketahui oleh guru-guru. Ia juga sering bercerita mengenai hal-hal yang ia lakukan bersama pacarnya. Ia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis yang sering memekik, “Oh, Miranda!”
                Aku pergi ke kamar mandi wanita saat makan siang dan melihat sekumpulan gadis mengerubungi Miranda sambil tertawa. Ia berdiri di atas wastafel sambil mengayunkan kakinya yang mengenakan boot dengan ujung panjang.
                Ia sedang menerangkan apa yang ia lakukan dengan pacarnya tadi malam. Aku berhenti, pipiku memerah melihatnya. Gadis-gadis lain terkikik dan menyenggol Miranda yang tidak juga berhenti.
                “Diam, Miranda. Lihat, itu Titch.”
                “Hai, Titch,” sapa Miranda sambil melambai lagi. Jari-jarinya bekas digigiti namun ia memoles semua kukunya dengan warna hitam dan menggambar bunga mawar hitam di pergelangan tangannya. Lalu ia melanjutkan ceritanya dengan mendetail.
                “Miranda, hentikan! Wajah Titch berwarna merah padam.”
                Miranda tersenyum. “Mungkin sudah waktunya ia memelajari fakta kehidupan,” katanya. “OK, Titch. Bolehkan aku menerangkan padamu?”
                “Aku sudah tau fakta kehidupan, terima kasih,” tolakku.
                Aku sudah bersiap akan ke kamar mandi namun aku mengurungkan niatku karena aku tidak ingin masuk ke kabin dengan mereka semua di luar dan mendengarkanku.
                “Ah, kamu pasti sudah memiliki gambaran mengenai fakta-fakta­ dasar, tapi aku ragu kamu sudah mempraktekkannya,” kata Miranda.
                “Berhenti menggoda Titch, Miranda!”
                “Kayak Titch sudah pernah punya pacar saja,” kata Miranda sambil memutar matanya kepada mereka.
                “Aku memang punya pacar,” kataku dengan tegas. “Kamu tidak seharusnya mengambil keputusan sendiri. Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku.”
                Gadis-gadis yang menyaksikanku dan Miranda mulai tertarik. Orang-orang tidak biasanya menyerang Miranda balik. Aku sangat heran karena aku berani melakukannya.
                Miranda sama sekali tidak terlihat terganggu. “Aku ingin tau semua tentangmu,” katanya. “Dan pacarmu. Ceritakan tentang dia.”
                “Namanya Carl,” kataku,
                “Dan?” Tanya Miranda. “Ayolah, Titch. Seperti apa wajahnya?”
                “Ia sangat tampan. Semua orang berkata begitu, bukan aku saja. Ia baik. Rambutnya sangat indah, pirang, dan lurus. Rambutnya menjuntai ke dahinya saat sudah memanjang. Matanya berwarna coklat dan kulitnya indah, sangat bersih tanpa luka. Dia tidak terlalu tinggi namun ia lebih tinggi daripadaku, tentu saja. Dia tidak terlalu memedulikan penampilan namun ia selalu kelihatan tampan, keren dan santai.”
                “Wow!” kata Miranda. Ia kelihatan senang mengerjaiku namun ia juga kelihatan tertarik. “Jadi bagaimana sifatnya? Orang dengan penampilan seperti itu biasanya menyebalkan.”
                “Tidak, Carl tidak menyebalkan sedikitpun. Dia sangat lucu dan pandai membuat dan menemukan benda baru. Dia sangat rajin dan jauh lebih pintar daripada aku. Ia mengetahui semua hal. Ia akan mendalami suatu hal yang ia suka terus menerus tanpa rasa bosan.”
                “Jadi sudah berapa lama kau mengenal laki-laki ini?” Tanya Miranda. “Atau apakah kamu benar-benar mengenalnya? Kamu kan suka membaca. Mungkin kamu mengarang kisah hidupmu sendiri sekarang.”
                “Yah, kayak cowok seperti itu mau jalan bareng Titch saja,” kata Alison yang adalah anak baru juga.
                “Ia benar-benar mengenalnya,” kata Patty Price. “Kami semua sekelas di sekolah menengah.”
                “Jadi ia seumuran kita,” kata Miranda. “Hanya anak kecil. Aku tidak pernah berpacaran dengan laki-laki seusiaku. Mereka sangat bodoh dan tidak dewasa.”
                “Carl tidak bodoh,” kataku.
                “Tidak, ia itu hmm … sangat pintar,” kata Patty. “Ia bersekolah di Kingsmere Grammar sekarang, ya kan, Ticth? Ia mendapatkan beasiswa special. Ia juga pintar dalam seni. Ia menggambar satu sisi tembok di sekolahku dulu—gambar kota Venice, dan karyanya seperti seniman sungguhan.”
                “Ia kedengarannya menarik,” kata Miranda. “Aku ingin bertemu dengannya. Hei, Titch, ajak dia ke tempatku nanti malam.”
                Aku menatap Miranda. Ia pasti bercanda! Gadis-gadis lain Nampak takjub saat mendengar ajakan Miranda.
                “Ya, benar,” kataku.
                “Tidak, sungguh. Kita akan berpesta. Pasti menyenangkan,” kata Miranda.
                “Oh, bolehkah aku ikut, Miranda?”
                “Boleh?”
                “Aku juga mau ikut!”
                “Hei, hei, aku mengajak Titch, bukan kalian semua. Sylvie dan pacarnya, Carl.” Miranda menyenggolku dengan ujung sepatu bootnya. “Maukah kau datang, Sylvie?”
                Tidak ada yang memanggilku Sylvie di sekolah kecuali teman-temanku. Aku sangat terkejut sampai tidak tahu mau menjawab apa.
                Aku harusnya menolak, tentu saja. Ide mengajak Carl pergi ke pesta Miranda bersama aku adalah ide yang sangat buruk. Tapi kamu tidak bisa menolak ajakan gadis seperti Miranda.
                “Yah, sepertinya menyenangkan,” gumamku lalu bersiap menyampaikan beberapa alasan.
                “Bagus,” kata Miranda lalu lompat turun dari wastafel. “Sampai bertemu jam delapan. Rumahku di Lark Drive nomor 94.”
                Dia berlalu sambil mengibaskan roknya yang pendek sebelum aku bisa mengatakan hal lain. Anak lain lari menyusulnya sambil memohon untuk ikut serta.
                Aku hanya diam dan jantungku berdebar keras, memikirkan apa yang akan aku lakukan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar